Saturday, July 4, 2015
Sepenggal Kisah Tentang Beruang Madu Kalimantan
Matahari sudah jauh bergeser dari puncak langit, tapi masih cukup menghangatkan dan menerangi rimba tropis Kalimantan. Dr Chandra Dewana Boer dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Dr M Yasuda dari Institut Penelitian Hutan dan Kehutanan, dan 2 rekan, berjalan dalam hutan lindung di kawasan adat suku Dayak Wehea, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, ketika tiba-tiba mereka melihat sosok hitam diam bersandar di cabang pohon keruing Dipterocarpus sp.
Tidak salah lagi, itu seekor beruang madu Helarctos malayanus euryspilus. Yasuda langsung mencari batu untuk berjaga-jaga kalau beruang itu menyerang. Namun, beruang itu tampaknya tertidur pulas sehingga tidak menyadari kehadiran mereka. Chandra tidak membuang kesempatan langka itu. Jepretan demi jepretan kamera ia bidikkan ke arah satwa anggota famili Ursidae itu. Sekitar 10 menit kemudian, sang beruang terbangun dan menyadari kehadiran mereka.
“Secara garis lurus jaraknya kira-kira hanya 5 m, tetapi pohon keruing itu berdiri di tanah yang lebih rendah ketimbang posisi saya. Postur dan gerakan kami juga tidak intimidatif sehingga mungkin dia pikir kami tidak berbahaya,” kata Chandra. Perjumpaan tak sengaja itu menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Chandra. “Rekan yang meneliti beruang saja belum pernah bertemu langsung,” kata periset kelahiran Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat, itu.
Maklum, secara alami beruang madu cenderung menghindari manusia. Itu berbeda dengan babi hutan atau kera ekor panjang yang oportunis dan kerap mencuri buah atau merusak tanaman warga. Pengalaman lebih “keras” dialami Musadat, penyelia hasil hutan bukan kayu (HHBK) PT Restorasi Ekosistem Indonesia, Jambi. Pria kelahiran 36 tahun lalu itu pernah berhadapan dengan beruang madu dalam perkelahian satu lawan satu.
Insiden itu terjadi ketika Musadat mendampingi peneliti dari lembaga Wildlife Conservation Society (WCS) pada pertengahan April 2010. Para periset tengah meneliti populasi gajah sumatra Elephas maximus sumatranus di hutan Harapan. Saat berjalan di antara belukar tinggi, tiba-tiba mereka mendengar suara geraman dalam jarak dekat. Tanpa sadar, rekan Musadat berada terlalu dekat di bawah beruang madu yang tengah membongkar sarang kelulut Trigona sp.
Beruang yang merasa terancam mendekat dalam posisi berdiri dengan 2 kaki belakang, siap mencabik-cabik sang rekan. Alih-alih melarikan diri, rekan Musadat justru mematung saking terkejutnya. Melihat gelagat membahayakan itu, Musadat maju. “Tingginya waktu berdiri hampir sama dengan saya, sekitar 170 cm,” tutur ayah 2 anak itu. Meskipun berhasil memukul mundur sang beruang, Musadat mesti mendapat jahitan di paha karena mendapat cakaran.
Menurut Gabriella M Fredriksson PhD, peneliti beruang asal Belanda yang menetap di Bengkulu, sejatinya beruang madu cenderung menghindari manusia. “Namun, kalau merasa terancam, ia menyerang untuk mempertahankan diri,” kata Gaby—panggilan Gabriella. Beruang madu spesies beruang terkecil di antara 8 spesies beruang dunia. Bobot beruang madu hanya 30—65 kg dengan tinggi tubuh ketika berdiri dengan 2 kaki 1,2—1,5 m dan panjang rata-rata 70 cm.
Bandingkan dengan beruang terbesar yaitu beruang kutub Ursus maritimus, dengan bobot beruang jantan dewasa mencapai 385—410 kg dan panjang tubuh 2,4—3 m. Julukan terkecil tidak berarti remeh. Beruang matahari terlahir dengan persenjataan yang bisa membuat pria berdarah-darah, seperti pengalaman Musadat. Cakar tebal sepanjang 3—6 cm di kaki depan yang berotot menjadi andalan membongkar batang pohon untuk mencari sarang lebah atau serangga.
Selain itu rahang kekar dilengkapi sepasang taring mampu mengoyak atau mencabik daging mangsa. “Dengan taring dan cakar itu beruang madu mampu membuka kelapa untuk menikmati dagingnya,” kata Chandra Dewana. Cakar itu mempunyai fungsi lain, membantu memanjat pohon. Sesuai namanya beruang madu menyukai madu. “Jika menjumpai sarang lebah ia akan segera mengambilnya, meski terletak di dahan tinggi sekalipun. Ia sangat lincah memanjat pohon, seperti berjalan di atas tanah,” kata Chandra.
Saat mengunjungi areal konservasi Hutan Harapan PT Reki di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, Trubus disuguhi rekaman hasil perjumpaan tim riset PT Reki dengan seekor beruang yang tengah mengambil madu dari sarang kelulut di batang pohon. Dalam rekaman itu, tampak sarang terletak dalam lubang di batang pohon, setinggi kira-kira 5 m di atas tanah. Beruang madu berdiri di batang pohon, bertumpu di kedua kaki belakangnya.
Tidak ada cabang mendatar yang ia pijak. Beruang itu hanya mengandalkan telapak kaki belakangnya untuk “berpegangan” di batang pohon. Ia asyik mencongkel, mencakar, dan menggigit permukaan batang pohon dengan kedua kaki depannya. Sesekali ia menjulurkan lidah untuk meraih sesuatu di dalam rongga batang pohon—madu, polen, larva, bahkan kelulut dewasa yang terjebak di dalam sarang ketika “serangan” berlangsung.
Menurut Anderi Satya, Asisten Komunikasi PT Reki, anggota tim riset bisa leluasa merekam momen itu lantaran angin bertiup ke arah mereka. “Jika angin bertiup ke arah beruang, pasti ia segera menyadari kehadiran manusia lalu cepat-cepat pergi,” kata Didi—panggilan Anderi. Kemungkinan lain, beruang akan menyerang anggota tim, seperti pengalaman Musadat.
Maklum, indera penciuman beruang sangat kuat. Dengan mengandalkan penciuman itu beruang matahari—sebutan beruang madu di kalangan ilmuwan—bisa mengendus sarang lebah hutan Apis dorsata setinggi belasan meter di atas tanah dari jarak ratusan meter (baca boks: 700 Kali Lebih Peka, halaman 82—83). Di tanahair ada 2 subspesies beruang madu, yakni Helarctos malayanus malayanus dan H. m. euryspilus.
Jenis malayanus tersebar mulai dari Thailand, Semenanjung Malaya, hingga Sumatera. Sementara itu jenis euryspilus hanya ada di Kalimantan. Beruang madu kalimantan lebih kecil ketimbang kerabatnya di Sumatera sehingga digolongkan sebagai subspesies terpisah. Delapan spesies beruang tersebar di dunia, hanya 1 spesies yang ada di tanahair. Sifatnya sangat unik karena merupakan perpaduan antara binatang frugivora, insektivora, sekaligus karnivora.
Selain madu, daftar menu beruang madu adalah serangga seperti rayap, kecoak, semut, larva lebah, dan kelulut. Pakan lainnya adalah burung, reptil, dan berbagai buah. Gaby meneliti 1.209 sampel kotoran beruang di hutan penelitian Sungai Wain, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, pada Oktober 1997—Juli 2002. Sisa serangga terutama rayap ditemukan dalam 75% sampel kotoran. Adapun sisa buah ia peroleh dalam 58% dari sampel. Sebanyak 23% terdiri dari sisa buah ara Ficus sp, 12% buah kembayau Dacryodes sp, 12% keluarga jambu-jambuan Syzygium sp, dan 11% buah spesies Santiria sp.
Periset kelahiran Belanda 43 tahun lalu itu menyimpulkan saat itu banyak tanaman sedang berbuah sehingga menjadi pakan beruang madu. Namun, pada bulan lain, jenis nangka-nangkaan Artocarpus sp dan jenis durian Durio sp justru mendominasi sampel kotoran. Meski lincah memanjat pohon, beruang lebih menyukai buah yang terhidang gratis alias jatuh di lantai hutan.
Selama pengamatan, Gaby mencatat beruang mengambil buah langsung di atas pohon hanya 25% dari 568 pencatatan. Diameter pohon yang dipanjat antara 5—150 cm. Menurut Gaby preferensi pakan itu menjadikan beruang madu tidak tergolong kelas karnivora meski mempunyai cakar dan taring yang kuat. “Ia beradaptasi dengan pakan yang tersedia,” tutur doktor alumnus Institut Biodiversitas dan Dinamika Ekosistem Universitas Amsterdam, Belanda pada usia 42 tahun itu.
Beruang madu sangat unik karena bersifat insektivora (pemakan serangga), frugivora (pemakan buah), dan karnivora (pemakan daging) sekaligus. Adaptasi lain adalah penyesuaian morfologi menjadi mirip ordo Primata (keluarga kera dan monyet) dengan bobot tubuh ringan, dada rata, bentuk telapak kaki yang melengkung ke dalam, permukaan telapak kaki bebas rambut, dan cakar yang sangat panjang dibandingkan dengan kerabat beruang lain.
Lebih uniknya lagi, adaptasi morfologi beruang madu juga menunjukkan sifat insektivora, antara lain dengan telapak kaki depan yang terlalu lebar dibandingkan ukuran tubuhnya, bibir yang bisa digerakkan maju mundur untuk mengisap, dan lidah yang sangat panjang. “Beruang madu adalah beruang dengan lidah terpanjang, mencapai 20—25 cm, dan bagian tepi dapat digulung sehingga menyerupai silinder,” ungkap Gaby. Bentuk lidah itu memungkinkan ia merenggut semut atau rayap dari dalam sarang mereka.
Keberadaan beruang madu vital bagi hutan tropis. “Mereka membantu penyebaran biji berbagai jenis tumbuhan,” kata Chandra. Setiap hari beruang madu berjalan sejauh 8 km untuk mencari pakan. Dalam setahun, daerah jelajah beruang madu betina mencapai 500 ha, sementara beruang jantan 1.500 ha. Sayang, berbagai kebaikan itu tidak menjadikan hidup beruang madu aman dari gangguan.
Kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun mengancam kelestarian satwa unik itu. Sudah begitu, alih fungsi hutan menjadi perkebunan atau pemukiman menyebabkan beruang madu kerap berkonflik dengan manusia. Ia juga menjadi buruan untuk diambil empedu dan telapak kakinya. Lembaga Orangutan Project bahkan melaporkan adanya praktik pengurungan beruang madu untuk diambil cairan empedunya secara berkala.
Laporan itu juga menyebutkan ada 2 hotel di sebuah kota besar di Indonesia yang menyediakan sup tapak beruang seharga $222—hampir Rp2,9-juta dengan kurs Rp13.000—per porsi. “Sayangnya hingga kini tidak ada data terpercaya tentang populasi beruang madu. Padahal, perburuannya terus terjadi,” kata Chandra.
Oleh karena itu ia menyarankan pembuatan suaka khusus beruang madu, seperti Taman Nasional Way Kambas di Lampung yang menjadi suaka gajah. Tidak kalah penting, upaya penyadaran masyarakat agar berdiri di barisan depan penyelamatan satu-satunya spesies beruang di Indonesia itu. Nasib beruang semata wayang itu sungguh tragis, hunian yang kian rusak dan menjadi target perburuan. Jasa baik beruang terlupakan. (Argohartono Arie Raharjo)
Labels:
TIPS SATWA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment