Saturday, June 20, 2015
Kunci Sukes Budidaya Hidroponik Bertingkat
Kunci budidaya hidroponik bertingkat: pengaturan instalasi dan pemilihan jenis sayuran.
Pertama kali berkebun hidroponik pada 2012, Very Wijaya langsung memilih instalasi model bertingkat. Pehobi di Medan, Provinsi Sumatera Utara, itu memiliki sebuah instalasi hidroponik nutrient film technique (NFT) model bertingkat berkapasitas 300 tanaman. Ia menyusunnya menjadi 6 tingkat, sehingga setiap tingkat terdiri atas 50 lubang tanam. Jarak antarlubang tanam 17—20 cm.
Menurut ahli hidroponik dari Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Anas Dinurrohman Susila MSi, membudidayakan sayuran hidroponik model bertingkat tergolong sulit dan ruwet dibandingkan model datar. “Pekebun mesti mengatur jarak antarwadah bagian atas dengan di bawahnya, membuat derajat kemiringan instalasi secara keseluruhan, memilih jenis sayuran yang cocok, mengatur tingkat ketinggian instalasi agar mudah dalam perawatan dan pemanenan,” ujar Anas.
Utara selatan
Very memperhatikan betul syarat-syarat itu—jarak tanam, derajat kemiringan, ketinggian instalasi. “Jarak antar lubang bisa menyesuaikan jenis sayuran yang dibudidayakan, semakin lebar sayurannya, lebar juga jarak tanamnya,” ujar Very. Profesi sebagai guru Fisika sangat membantu Very untuk memecahkan kesulitan-kesulitan berkebun hidroponik bertingkat.
Very menempatkan rak hidroponik bertingkat tanpa naungan itu membujur dari utara ke selatan. Alasannya, “Penempatan itu agar semua tanaman mendapat sinar matahari yang optimal dari pagi, siang sampai sore. Sebab, matahari terbit dari timur ke barat,” ujar ketua Komunitas Belajar Bareng Hidroponik (BBH) wilayah Medan itu. Menurut Very sinar matahari kebutuhan utama tanaman untuk memproduksi makanan melalui proses fotosintesis dan itu sama saja antara menanam tanaman di tanah dengan di air.
Untuk memaksimalkan penyerapan sinar matahari, Very menata 6 pipa dari atas ke bawah secara menyerong. Kemiringan rak tempat pipa itu menumpuk 45 derajat. “Semua tanaman baik yang di pipa atas maupun di pipa bawah mendapat sinar matahari maksimal,” ujar Very. Sementara untuk memaksimalkan penyerapan nutrisi, Very memiringkan setiap pipa yang ia gunakan untuk wadah tanaman.
“Tingkat kemiringan per meter pipa 5 cm,” ujarnya. Tujuannya agar media air terus mengalir dari sisi kanan ke kiri dan semua tanaman mendapat nutrisi yang cukup. Model instalasi hidroponik bertingkat milik Very adalah tipe S. Di kalangan pehobi, model hidroponik bertingkat ada dua tipe. Pertama tipe pisah atau instalasi yang wadah atas dengan bagian bawah tak terhubung secara langsung alias terpisah. Sementara, tipe kedua adalah model S atau instalasi hidroponik bertingkat yang wadah atas dengan wadah bagian bawah tersambung.
Jenis tanaman
Menurut pakar hidroponik di Jakarta, Ir Yos Sutiyoso, keunggulan model terpisah adalah petani lebih mudah mengatur nutrisi untuk masing-masing tanaman. “Kita bisa mengatur sesuka hati jumlah nutrisi yang keluar tiap menit pada masing-masing wadah, kalau model S pengaturannya secara menyeluruh atau per instalasi sehingga kerap ditemui kondisi sayuran di wadah atas lebih subur dibanding wadah bagian bawah,” ujar Yos.
Keunggulan lain tipe pisah adalah tingkat efisiensi penggunaan nutrisi yang optimal. “Bila dalam satu instalasi ada 6 tingkat, sementara kita hanya ingin mengisinya 2 atau 3 tingkat, kita bisa menutup kran nutrisi di tingkat yang tak terisi tanaman. Sementara kalau model S, semua tingkat akan teraliri nutrisi, termasuk bagian yang tak terisi tanaman, dan itu menjadi sia-sia,” ujar Yos.
Keunggulan dari model S adalah pengaturannya yang lebih praktis. Hanya sekali buka, semua tanaman akan teraliri nutrisi. Model itu banyak dipakai pehobi hidroponik pemula. “Sistemnya lebih simpel,” ujar Yos. Untuk mengatasi tanaman yang kerap kurang subur di wadah paling bawah, Yos menyarankan untuk meningkatkan nutrisi melalui pengaturan flowrate atau besarnya curah per liter per menit.
“Jika biasanya flowrate 1 liter per menit, bisa ditingkatkan menjadi 2 liter per menit. Harapannya, tanaman di tingkat bawah masih mendapatkan nutrisi yang cukup,” ujar Yos. Selain model instalasi, untuk membudidayakan hidroponik bertingkat, menurut Anas Dinurrohman Susila juga penting memperhatikan jenis sayuran yang akan ditanam. “Jika tujuannya hanya untuk mempercantik halaman rumah, maka jenis sayurannya berbeda dengan yang ada nilai bisnisnya,” ujarnya. Dua motif itu memaksa pehobi harus rajin mempelajari karakter jenis-jenis sayuran hidroponik.
Bila yang diinginkan adalah estetis, maka pekebun bisa memilih sayuran yang cenderung besar dan berwarna cantik, tujuannya untuk menutupi talang atau pipa yang digunakan sebagai wadah dalam instalasi hidroponik bertingkat. “Kalau tanaman besar maka bisa menutupi wadah yang penampakannya mengurangi nilai estetis,” kata Anas. Contohnya adalah pakchoy dan kelompok selada berukuran besar seperti selada keriting.
Namun, jika ingin menambahkan nilai bisnis atau keuntungan, pemilihan tanaman didasarkan dari kondisi pasar. “Pilih yang keuntangannya besar dan pasarnya luas. Sehingga menanam sayuran itu dapat dijadikan bisnis,” kata kepala University Farm Institut Pertanian Bogor itu. Pekebun dapat memilih sayuran yang disukai pasar dan menguntungkan dengan lokasi berhidroponik. Budidaya hidroponik bertingkat tak lagi merepotkan malah menguntungan. (Bondan Setyawan/Peliput: Rizky Fadhilah)
Penyakit Kotoran Putih Pada Udang Vanamei
Tino Sadeli menemukan keanehan pada 4 dari 23 kolam udang vannamei miliknya pada November 2014. Peternak di Madura, Jawa Timur, itu melihat kotoran udang seperti benang berwarna putih di permukaan air kolam seluas total 1 hektar. Setelah berdiskusi dengan rekan sesama petambak, ia tahu udangnya terserang white feces desease (WFD) alias penyakit kotoran putih.
“Udang saya ketahuan terserang penyakit kotoran putih pada umur 60 hari,” kata Tino. Selang 25 hari—saat udang berumur 85 hari—Tino panen Litopenaeus vannamei. “Hasilnya hanya 70%. Artinya kematian udang mencapai 30%,” ujar petambak udang sejak 1986 itu. Rata-rata Tino menebar 125 benur per m2 atau sekitar 1,25-juta benur di 4 kolam. Ia hanya panen 875.000 udang.
Malas makan
Jika bobot udang 17 gram per ekor, maka Tino hanya panen 14,8 ton udang. Padahal, “Biasanya produksi udang mencapai 20—30 ton per ha,” kata pria kelahiran Surabaya 57 tahun silam itu. Dengan asumsi harga jual udang ukuran 50 (satu kg terdiri atas 50 ekor) Rp60.000 per kg, maka Tino kehilangan omzet minimal Rp312-juta. Peternak lain, Ming Liberty, rugi lebih besar.
Setahun terakhir penyakit kotoran putih menyerang 25 kolam, masing-masing seluas 4.000 m2, milik petambak udang di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, itu. Lima kolam terserang sangat parah. “Kerugian akibat serangan white feces desease di 5 kolam itu mencapai 70%,” ujar Liberty. Menurut Kepala Divisi Animal Health Service Technical Research, PT Central Proteina Prima, Dr Heny Budi Utari, kini penyakit kotoran putih banyak menyerang tambak udang di Indonesia.
“Gejala WFD ditemukan akhir 2013 dan meningkat pada Mei dan Juni 2014,” kata Heny. Berdasarkan survei sejak Januari—Juli 2014 ditemukan 307 tambak (sekitar 4%) terindikasi WFD dari 7.632 tambak di Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Lampung. “Serangan WFD terbesar di Nusa Tenggara Barat, diikuti Jawa Timur, dan Jawa Barat,” ujar alumnus Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya itu.
Sejatinya WFD bukan penyakit baru. “WFD sebelumnya ditemukan di tanahair pada 1994—1998 pada udang windu,” kata Heny. Kini penyakit kotoran putih itu banyak menyerang vannamei. Penyakit kotoran putih biasanya menyerang udang berumur 30—60 hari. Menurut pakar udang dari Universitas Kasetsart Thailand, Dr Chalor Limsuwan, gejala awal WFD adalah udang malas makan. Itu persis terjadi di kolam Tamyis berisi udang berumur 37 hari.
“Biasanya udang berumur 30 hari menghabiskan 4 kg pakan. Ketika terserang penyakit kotoran putih 1,5 kg pakan saja tidak habis,” kata petambak di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, itu. Jika petambak memberikan pakan secara normal, sedangkan nafsu makan udang berkurang maka banyak sisa pakan. Gejala berikutnya adalah banyak plankton mati di kolam. “Berkurangnya plankton dan tingginya bahan organik protein sisa pakan menyebabkan jumlah protozoa termasuk gregarin dan bakteri vibrio di air meningkat,” kata Heny. Jumlah oksigen terlarut di dasar petak pun rendah.
Mikrofili luruh
Menurunnya populasi plankton membuat udang makan di dasar kolam. “Pada saat itulah bakteri masuk atau ikut termakan udang,” kata Heny. Akibat infeksi bakteri, toksin dari bakteri mikrofili hepatopankreas udang rusak kemudian luruh ke usus kosong sehingga keluar menjadi kotoran berwarna putih bak benang. “Jadi, kotoran putih yang mengambang di permukaan kolam itu sebenarnya bukanlah kotoran udang, tapi mikrofili udang yang luruh,” ujar Heny.
Berdasarkan penelitian Chalor, gregarin yang ditemukan dalam kotoran putih termasuk dalam genus Nematopsis. Sementara, “Jenis vibrio yang ditemukan adalah Vibrio parahaemolyticus, Vibrio fluvialis, Vibrio alginolyticus, dan Vibrio mimicus,” kata peneliti dari Fakultas Perikanan, Universitas Kasetsart Thailand, itu kepada Trubus. Chalor menuturkan untuk mencegah serangan WFD lakukan budidaya secara benar.
“Contohnya, jika tambak tanah harus dikeringkan selama sebulan, ya lakukan selama sebulan,” katanya. Acap kali petambak udang abai akan hal itu lantaran mengejar jumlah produksi. Akibatnya, si bongkok putih terserang penyakit. Jika sudah terserang, Heny menyarankan agar petambak mengurangi pemberian pakan. “Potong 50% pemberian pakan harian sampai udang mau makan,” katanya.
Petambak yang melihat gejala serangan WFS, cukup memberikan pakan separuh dari kelaziman. Jika semula normalnya pemberian 4 kg pakan per hari, maka menjadi 2 kg. Selain itu berikan probiotik mengandung bakteri Bacillus spp (biosolution atau vanapro) selama 5—7 hari. Untuk mengontrol plankton dengan 3 cara: buang plankton mati pada siang dan sore hari, buang air dasar tidak lebih dari 5 cm, dan aplikasikan bakteri super NB 1 ppm hingga jumlah plankton stabil.
Super NB mengandung bakteri nitrifikasi yang berfungsi menumbuhkan plankton dengan cara mengubah amonium menjadi nitrit yang kemudian menjadi nitrat yang merupakan nutrisi untuk plankton. Tahap selanjutnya mengontrol dasar petak dengan cara melakukan sipon minimal sepekan sekali. “Buang air dasar secara berkala dan jaga oksigen dasar di atas 4 ppm,” kata Heny. Dengan cara itu kerugian akibat penyakit kotoran putih pun dapat dihindari. (Rosy Nur Apriyanti)
Thursday, June 18, 2015
Budidaya Udang Di Kolam Plastik
Di bawah rindang pohon kelapa yang berjajar itu, peternak di Desa Sidomulyo, Kecamatan Ngadirojo, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur, memanen udang Vannamei. Tempat yang sebelumnya sawah itu beralih menjadi tambak udang sejak Oktober 2013. Hasil panen perdana mencapai 5,5 ton udang dari 3 kolam masing-masing 600 m2. Artinya produksi udang rata-rata 1,8 ton per kolam.
Udang panen mereka itu hasil penebaran benih oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bukan tanpa alasan Yudhoyono menghadiri acara tebar benih udang pada Oktober 2013. Itu budidaya udang pertama di tempat kelahiran Yudhoyono. Ukuran kolam berbeda dari kebanyakan peternak. Kolam relatif kecil hanya 600 m2. Bandingkan dengan luas tambak konvensional yang bisa mencapai 3.000 m2.
Skala kecil
Selain itu, teknik budidaya pun baru. Para peternak memanfaatkan plastik high density poly ethelene (HDPE) berwarna hitam untuk menutupi kolam sehingga air tidak langsung mengenai tanah. Masyarakat setempat menyebut pola budidaya itu busmetik—akronim dari budidaya udang skala mini empang plastik, inovasi dosen di Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Kampus Serang, Dr Tb Haeru Rahayu MSc.
Teknologi itu hasil kajian empiris sejak akhir 2009 di Program Studi Teknologi Akuakultur Sekolah Tinggi Perikanan. Ide pembuatan busmetik berawal dari keinginan Haeru mencetak peserta didik yang terampil di bidang budidaya udang. Setelah melakukan studi pustaka, Haeru pun menghasilkan busmetik. “Teknologi busmetik pertama di dunia dan di Indonesia,” kata Haeru.
Lalu mengapa mesti beternak udang? Menurut Haeru udang komoditas primadona perikanan yang harganya relatif stabil. Jenis udang yang cocok dengan teknologi busmetik yaitu Vannamei Litopenaeus vannamei. Sebab peternak bisa membudidayakan Vannamei dalam kepadatan tinggi, di atas 100 ekor per m3. Selain itu pertumbuhan udang asal Samudera Pasifik bagian timur itu lebih cepat, lebih tahan penyakit, dan memiliki segmen pasar yang lebih fleksibel.
“Udang berukuran kecil pun laku dijual,” kata Haeru. Kehadiran busmetik di kabupaten di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur itu atas prakarsa dan pembiayaan Yayasan Damandiri. Pembuatan busmetik dipandu teknisi STP serta pendampingan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan.
Tahan lama
Untuk mengelola busmetik dibentuklah Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) Mulyo Sari yang beranggotakan 11 orang. Mereka membuat 4 kolam masing-masing berukuran 30 m x 20 m. Tiga kolam untuk budidaya, sebuah kolam sebagai tandon air. Menurut Haeru salah satu keunggulan busmetik yaitu ukuran kolam yang relatif lebih kecil daripada tambak konvensional.
Cukup lahan 600—1.000 m2 peternak bisa membudiayakan udang. Lazimnya luas tambak udang konvensional
2.000—5.000 m2. Ukuran kolam yang lebih kecil juga memudahkan perawatan dan pengelolaan kolam. Misal pemberian pakan lebih merata jika dibandingkan beternak di kolam konvensional. Sebab peternak hanya perlu mengelilingi kolam untuk memberi pakan.
Sementara jika mengelola tambak konvensional, peternak tidak cukup memberi pakan dari pinggir kolam. Petugas mesti menaiki sampan untuk memberi pakan di tengah kolam. Pemberian pakan yang merata membuat udang tumbuh serempak. Ukuran kolam kecil juga mengurangi risiko serangan penyakit. Peternak bermodal kecil dan menengah pun mampu membudidayakan udang sistem busmetik. Tidak terbatas pemodal besar.
Menurut Haeru pembudidaya udang bermodal kecil dan menengah cukup tinggi yaitu di atas 60%. Pembuatan 1 modul berisi 4 kolam seperti di Desa Sidomulyo menghabiskan Rp500-juta. “Untuk luasan sama pada tambak konvensional memerlukan dana Rp340-juta,” kata teknisi kolam, Sujud Setiawan SSTPi.
Meskipun begitu peternak busmetik tidak perlu merenovasi kolam. “Kolam busmetik dapat beroperasi hingga 15 tahun,” kata Sujud. Sementara tambak konvensional perlu direnovasi setiap 2—3 tahun. Salah satu pembeda busmetik dengan sistem konvensional yaitu penggunaan plastik. “Plastik berguna mengurangi serangan hama dan penyakit pada udang,” kata Sujud.
Untung besar
Sujud mengatakan hama dan penyakit mudah tersebar jika salah satu udang terserang hama atau penyakit di kolam tanah. Sujud dan rekan melengkapi masing-masing kolam pemeliharaan dengan 3 kincir air. Kincir air itu berfungsi memasok oksigen terlarut. Udang perlu lebih banyak oksigen terlarut karena kepadatan yang relatif tinggi. Sebelumnya hanya ada 2 kincir yang menyebabkan udang mengambang di permukaan kolam karena kekurangan oksigen. “Kini 3 kincir air sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen udang,” ujar Sujud.
Budidaya udang sistem busmetik relatif sama dengan di tambak. Sujud menebar benur berukuran PL-12. Pemberian pakan pabrikan 5 kali sehari. Untuk menjaga kualitas air ia memberikan 500 g probiotik per tambak 2 hari sekali. Pemberian probiotik pada pukul 19.30. Jika pemberian probiotik pada siang maka penguraian kalsium kurang maksimal karena terjadi fotosintesis oleh fitoplankton.
Waktu pemeliharaan udang dengan busmetik kurang lebih 90 hari. Dua hari menjelang panen Sujud menelepon pengepul dari Cirebon, Jawa Barat. Panen terakhir pada Oktober 2014 menghasilkan 2,3 ton udang. Jumlah itu meleset dari target 3,5 ton. Musababnya listrik padam selama 12 jam dan genset rusak. Akibatnya kincir mati sehingga oksigen berkurang dan menyebabkan udang mati.
Panen pada siklus ketiga itu Sujud dan rekan meraih omzet Rp138-juta. Sayang, saat itu mereka merugi. Namun, panen sebelumnya pada Juli 2014 mereka meraup omzet Rp236,8-juta. Dari jumlah itu Sujud dan rekan mendapat laba Rp86,8-juta. Bukan hanya di Pacitan, sebelumnya teknologi itu tersebar lebih dahulu di Ladong (Aceh), Kota Agung (Lampung), Tegal (Jawa Tengah), dan Bone (Sulawesi Selatan).Menurut Ketua STP, Ir Tatang Taufiq Hidayat MS, busmetik memberikan hasil panen yang jauh lebih baik. (Riefza Vebriansyah)
Kendala Dan Hambatan Dalam Bisnis Ikan Hias
Puluhan akuarium berukuran 120 cm x 50 cm x 50 cm di Taufan Fish Farm kosong. Tak ada ikan berenang ke sana ke mari. Puluhan akuarium kosong lainnya berdebu dan menumpuk di sudut ruangan. Pemandangan itu tentu sangat berlawanan ketika Trubus berkunjung 5 tahun lalu. Seluruh akuarium berisi berbagai jenis ikan hias air tawar. Bahkan, sebuah catatan panjang berisi pesanan puluhan ribu ekor ikan hias air tawar dari beberapa eksportir pun tersusun rapi di meja kerja Euis S Djohan, pemilik Taufan Fish Farm di Bogor, Jawa Barat, itu.
“Pesanan ikan yang datang saat ini menurun hingga 95%. Paling banter eksportir hanya meminta 100 ekor per bulan. Itu pun untuk jenis-jenis tertentu,” ujar Euis. Merosotnya jumlah permintaan yang datang itu berimbas pada keterbatasan Euis untuk menampung ikan dari para peternak binaannya. Peternakan berumur 20 tahun itu pun terpaksa menekan biaya produksi dengan menyeleksi jenis ikan yang diternakkan.
Efek domino
Euis tetap mempertahankan ikan-ikan yang permintaannya relatif stabil seperti neon tetra Paracheirodon innesi dan karasin. “Jika tidak ada perubahan, 2 bulan lagi saya terpaksa gulung tikar,” ujarnya. Selain menurunnya jumlah pesanan, Euis pun mengeluhkan harga jual yang cenderung statis. Padahal, biaya produksi semakin besar. Sebagai gambaran harga pakan ikan berupa artemia saat ini mencapai Rp650.000 per liter dan cacing sutera Rp15.000 per liter.
Harga itu meningkat 400% dari 10 tahun lalu. “Sementara harga ikan tidak pernah naik lebih dari 100%. Bahkan saat ini cenderung turun,” kata Euis. Kenaikan biaya produksi itu juga dirasakan peternak binaan Taufan Fish Farm, Arifin Wangsadireja di Ciluar, Kotamadya Bogor, Jawa Barat. Arifin kini memasarkan beragam ikan seperti black ghost Afteronotus albifrons dan kissing gourami Helostoma temminckii di pasar lokal.
Di pasar ikan hias domestik Arifin mengeluhkan persaingan harga yang sangat ketat antarpeternak sehingga harga jual sangat berfluktuasi. “Sebaiknya ada pihak yang khusus mengatur harga jual ikan hias air tawar,” katanya. Euis dan Arifin hanya sebagian kecil dari pelaku bisnis ikan hias yang berada di ujung tanduk. Bahkan pemasok dan pengepul besar seperti Yohannes Fish Farm yang luas peternakannya mencapai 3,5 ha pun sudah lebih dahulu menutup peternakannya di Ciseeng, Kabupaten Bogor, sejak 3 tahun lalu.
Menurut Bima Saksono dari Perhimpunan Ikan Hias Indonesia (PIHI), hal itu merupakan efek domino dari rendahnya daya beli eksportir ikan hias air tawar. Harwin S, eksportir ikan hias di Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat, mengatakan daya belinya terhadap peternak memang terus menurun sejak 2 tahun lalu. “Harga beli ke peternak memang semakin kecil. Hal itu karena mahalnya ongkos transportasi dan perizinan yang kami keluarkan sehingga berimbas pada harga beli ke peternak,” ujar pria yang akrab dipanggil Kikim itu.
Pasar ekspor
Menurut Harwin harga ikan hias air tawar di pasar internasional sebetulnya terus meningkat. Namun, panjangnya rantai birokrasi di Indonesia menyebabkan harga jual yang tinggi itu terpotong hampir 70% nya untuk perizinan dan ongkos transportasi. “Seharusnya pemerintah meniru cara Singapura yang memberikan dukungan dan kemudahan kepada para eksportir,” ujar Bima Saksono.
Singapura memang sohor memiliki manajemen ekspor yang terorganisasi secara baik. Melalui Agri-ood & Veterinary Authority (AVA), pemerintah Singapura mempermudah perizinan, karantina, bahkan mereduksi biaya transportasi dengan menyediakan pesawat khusus untuk ekspor ikan hias. Sementara para eksportir di Indonesia justru merasa dipersulit dengan panjangnya rantai perizinan. “Setidaknya kami harus melewati 27 tahap perizinan untuk bisa ekspor. Sementara Singapura hanya 2 tahap,” ujar Harwin.
Menurut Bima menurunnya volume ekspor ikan hias ini juga karena banyaknya perusahaan asing yang masuk dengan menggunakan bendera Indonesia. “Mereka membeli ikan langsung dari peternak lalu menjual ke negara tujuan sehingga harga yang ditawarkan lebih rendah daripada eksportir Indonesia,” ujar Bima. Harap mafhum selama ini Indonesia memang masih sangat bergantung pada Singapura dalam hal penjualan ikan hias untuk pasar internasional. Rantai penjualan lebih panjang dan harga yang ditawarkan menjadi tinggi.
Iming-iming pembayaran secara tunai membuat para peternak terpaksa menjual ikannya kepada perusahaan asing tersebut meski dengan harga rendah. Lesunya pasar ikan hias air tawar terutama untuk ekspor mendorong Ir Maxdeyul Sola MBA MM, ketua PIHI, untuk memperbaiki rantai industri ikan hias air tawar di Indonesia. “PIHI akan menjembatani kepentingan seluruh pelaku bisnis ikan hias mulai dari peternak hingga eksportir,” ujar Sola.
Sola merencanakan beberapa program kerja seperti memaksimalkan pemanfaatan Pusat Ikan Hias Raiser di Cibinong, Kabupaten Bogor, membuat situs resmi penjualan ikan hias air tawar Indonesia melalui daring (online), dan memetakan wilayah budidaya sesuai komoditas. Program kerja lain adalah memberikan informasi kejelasan pasar kepada peternak agar tidak terjadi banjir ikan pada waktu-waktu tertentu. Artinya peternak akan mengetahui berapa volume yang dibutuhkan pasar di setiap bulannya. PIHI yang akan berperan mengatur pembagiannya kepada masing-masing peternak. (Rizky Fadhilah)
Berternak Lele Dengan Metode Kolam Gravitasi
Sortir 10.000 lele hanya sejam.
Untuk menyortir 10.000 bibit ukuran 4—6 cm Sutrisno Saliman hanya perlu sejam. Lazimnya 2 penyortir memerlukan 2 jam. Cara sortir peternak di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, itu memang efisien. Menurut periset di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT)
Sukabumi, Jawa Barat, Ade Sunarma MSi, peternak 2—3 kali sortir sejak tebar benih hingga panen.
Artinya penghematan waktu dan tenaga kerja sortir selama budidaya lebih hemat. Menurut Sutrisno penyortiran penting untuk mendapatkan ukuran seragam. Selain itu juga, “Dapat mengurangi sifat kanibalisme lele,” kata mantan pelaut itu. Jika penyortiran tidak dilakukan, lele yang lebih besar memangsa lele berukuran kecil.
Ember berlubang
Akibat kanibalisme jumlah ikan yang dipanen berkurang sehingga pendapatan peternak pun menurun. Ade mengatakan lele bersifat kanibal karena beberapa faktor seperti kekurangan pakan, padat tebar tinggi, dan stres. “Kanibalisme juga sifat alami lele,” kata pria berumur 41
tahun itu.
“Penyortiran saat panen perlu dilakukan untuk memenuhi ukuran lele yang diminati konsumen,” kata Saliman. Maklum selera konsumen berbeda terkait ukuran lele. Ada yang meminta lele besar atau sedang. “Konsumen lele di Yogyakarta menghendaki lele yang 1 kg berisi 7—8 dan 10—12 ekor,” ujar pengepul lele di Bantul, Yogyakarta, Mahmudin.
Para peternak menyortir lele menggunakan pengayak berupa ember berlubang dengan ukuran tertentu. Ada yang berukuran 6—8, 7—9, 9—12, dan 10—11 tergantung ukuran lele yang akan disortir.
Sutrisno juga pernah melakukan penyortiran menggunakan ember berlubang pada 2011—2012. Ketika itu ia menyerok ikan, lalu meletakkan lele di atas ember berlubang dan menggoyangkannya berulang-ulang. Pengayakan selesai jika sudah tidak ada lele yang melewati lubang.
“Makin banyak lele, semakin lama waktu sortir yang diperlukan. Jika ingin lebih cepat, jumlah tenaga kerja ditambah,” kata ayah 4 anak
itu. Selain butuh waktu lebih lama, penyortiran dengan ember berlubang kerap membuat lele stres, bahkan mati.
Berjenjang
Untuk mengatasi sortir manual yang lama dan berdampak buruk bagi lele, Sutrisno berinisiatif menciptakan kolam sortir otomatis berjenjang. Pada Oktober 2013 ia membangun 30 kolam permanen dari semen, masing-masing berukuran 3,5 m x 4,5 m x 1 m di lahan sawah. Posisi kolam dibuat 2 jalur yang saling berhadapan. Jadi, 15 kolam saling berhadapan dan dipisahkan parit selebar 40 cm.
Di setiap kolam terdapat pintu berukuran 80—120 cm x 40 cm. Sutrisno juga membuat sekat di sudut kolam dekat pintu sehingga tidak ada pojok. “Tujuannya agar sortir lebih mudah karena ikan tidak bisa lari ke pojok,” kata alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP), Cilincing, Jakarta Utara, itu. Di ujung rangkaian kolam terdapat kolam penampungan berukuran 7 m x 3 m.
Kolam penampungan bermanfaat pada saat panen lele. “Di kolam itu lele dengan ukuran yang dikehendaki siap diangkut pembeli,” kata Sutrisno. Prinsip kolam sortir otomatis ala Sutrisno mengikuti sifat alami air yaitu bergerak dari tempat tinggi ke tempat yang lebih
rendah. Oleh karena itu posisi kolam Sutrisno berjenjang.
Delapan kolam pertama, lebih tinggi daripada 16 kolam lain, sedangkan 6 kolam sisanya yang paling rendah. “Perbedaan antarkelompok kolam itu 5 derajat,” kata pria kelahiran Bangkalan, Provinsi Jawa Timur, itu. Artinya, selisih ketinggian kolam pertama dengan kolam
berikutnya, 10 cm. Untuk menyortir di kolam sortir otomatis berjenjang sederhana.
Kolam minimalis
Untuk menyortir, Sutrisno cukup meletakkan sekat dari lempengan besi berukuran 80—120 cm x 40 cm yang menghubungkan antarpintu. Lalu ia memasang filter lempengan besi.
Kemudian Sutrisno membuka pintu penyekat di kolam kedua. Lantas ia mengangkat pintu di kolam pertama sehingga air dan ikan yang tubuhnya lebih kecil daripada filter masuk ke kolam kedua. Di kolam pertama tersisa lele sesuai ukuran filter. Dengan cara itu Sutrisno mampu menyortir 10.000 lele dalam waktu 1 jam dengan 1 tenaga kerja. Bandingkan dengan cara biasa yang memerlukan 2 tenaga kerja dalam waktu 2 jam.
Sutrisno menuturkan peternak lain dapat mengadopsi teknik sortir seperti yang ia lakukan dengan ukuran yang lebih kecil sehingga menghemat biaya investasi. Untuk pembuatan 30 kolam, Sutrisno menghabiskan Rp300-juta atau Rp10-juta per kolam. Menurut Sutrisno
peternak tidak harus membuat 30 kolam sortir, bahkan 4 kolam pun memadai.
“Kolam sortir minimalis terdiri atas 4 kolam dengan ukuran masing-masing 4,5 x 3,5 m,” katanya. Pembuatan 1 kolam menghabiskan biaya Rp2,5-juta. Kehadiran kolam otomatis berjenjang pun membuat waktu sortir lebih singkat dengan biaya rendah. Dengan begitu diharapkan
keuntungan beternak meningkat. (Riefza Vebriansyah)
Panen Tulip Sepanjang Tahun Tanpa Mengenal Musim
Taman Keukenhof, Lisse, Belanda, kebanjiran pengunjung setiap April. Maklum pada awal musim semi itu Keukenhof penuh tulip. Bunga turban itu memang secara alamiah serempak berbunga setiap awal musim semi setelah dorman (berhenti tumbuh) selama musim dingin. Pengelola Taman Keukenhof sengaja menanam tulip dalam jumlah besar bersama bunga lain seperti daffodil dan hyacinth sebagai daya tarik utama. Pada April tulip nyaris menutupi seluruh areal taman seluas 32 hektar yang dalam bahasa Belanda berarti kebun dapur itu. Di nurseri milik keluarga Pronk di Avenhorn tulip berbunga sepanjang tahun.
Itulah yang saya lihat saat kunjungan pada akhir November dan awal Desember 2014. Di satu sisi nurseri seluas total 35 ha, terlihat hamparan tulip berbunga merah muda. Di sisi lain kumpulan tulip berbunga putih. Tulip-tulip itu siap panen. Pekerja akan menempatkan tulip-tulip yang tumbuh di dalam wadah kotak plastik itu ke atas meja berjalan. Dengan budidaya otomatis menggunakan sistem robotik, meja berjalan bergerak membawa tulip siap panen ke area pemisahan umbi dan bunga.
Greehouse modern
Secara alamiah, mestinya tulip-tulip itu baru berbunga pada April. Artinya tanpa perlakuan apa pun keluarga Pronk baru memanen bunga tulip pada April. Suami istri Cees dan Loes Pronk—pemilik nurseri—mampu menanam tulip sepanjang tahun karena menerapkan teknik budidaya secara intensif. Seluruh kegiatan budidaya dilakukan di dalam greenhouse masing-masing seluas 35 ha di Avenhorn, Belanda dan 5 ha di Selandia Baru yang memiliki musim berkebalikan dengan Belanda.
Mereka menanam umbi tulip di nurseri di Selandia Baru. Lalu mengapalkannya ke Belanda. Selama perjalanan 6 minggu di laut, umbi disimpan dalam suhu 6—7°C. Setiba di Avenhorn umbi-umbi yang ditata dalam keranjang-keranjang plastik itu dimasukkan ke dalam ruang pendingin raksasa bersuhu 2°C. Umbi berada di ruang pendingin selama 14 hari. Selama itu penyiraman secara otomatis tetap dilakukan. Setelah itu umbi keluar dari ruang pendingin dan dikirim ke greenhouse pembesaran. Umbi ditanam di kotak-kotak tanam plastik, masing-masing berisi 108 umbi. Kira-kira setelah dua bulan masa pertumbuhan tanaman, suhu greenhouse diatur hangat (20°C) untuk memacu bunga. Setelah 18 hari, bunga siap dijual.
Artinya dengan rekayasa iklim yang diatur dengan komputerisasi umbi-umbi tulip tidak perlu menunggu periode dingin di musim salju dan suhu tinggi di awal musim semi untuk menghasilkan bunga. Dengan cara itu nurseri keluarga Pronk mampu menghasilkan 15.000.000 umbi dan 1.700.000.000 tangkai tulip setiap tahun. Menurut mereka kunci sukses budidaya tulip yakni mengatur iklim, suhu, dan kelembapan sesuai kebutuhan bunga turban. Selain itu kualitas air penyiraman yang 100% terbebas dari kontaminan dan kontrol nutrisi yang tepat menjadi kunci lain. Untuk memastikan kebersihan air, pekerja melewatkan air ke dalam filter, sistem ozonisasi, dan perlakuan dengan cahaya ultraviolet. Penggunaan umbi berkualitas juga penting. Oleh karena itu mereka memasok sendiri kebutuhan umbi dari nurseri di Selandia Baru.
Nurseri keluarga Pronk memang memanen dua bagian tulip, umbi dan bunga tulip potong. Umbi tulip untuk memasok nurseri lain di Belanda dan memenuhi kebutuhan sendiri, sementara bunga tulip itu untuk memasok pasar ekspor. Sebanyak 80% dari total produksi bunga tulip untuk memenuhi permintaan Jerman, sisanya negara di Eropa lainnya. Untuk bunga potong, konsumen—supermarket jaringan besar–menyaratkan panjang tangkai minimal 36 cm serta memiliki daun dan bunga yang bersih dan tanpa cacat atau rusak.
Bermula umbi
Suami istri Cees (sekarang 76 tahun) dan Loes Pronk (72 tahun) mulai menanam tulip pada 1960 di lahan seluas 0,72 hektar. Mereka menanam umbi tulip pada November. Pada April dan Mei tahun berikutnya, ketika tanaman berbunga, mereka merompes bunga. Tujuannya supaya umbi tumbuh lebih besar. Harap maklum makin besar umbi, makin mahal harganya. Keluarga Pronk menjual umbi untuk memenuhi kebutuhan pekebun tulip yang membudidayakan untuk panen bunganya dan kepada eksportir yang memasarkan umbi ke mancanegara.
Pada Juni—Juli pekerja memanen umbi dan membersihkannya dari tanah. Selama waktu penanaman 8 bulan umbi utama menghasilkan umbi-umbi kecil. Cees dan Loes lalu menjual umbi utama, sementara umbi-umbi kecil sebagai bibit untuk penanaman periode berikutnya. Dari penjualan umbi itu suami istri Pronk mendapat omzet luar biasa!
Pada 1975 Cees dan Loes memutuskan untuk juga membudidayakan tulip sebagai bunga potong. Sebab harga umbi merosot. Mereka pun membangun greenhouse yang dibutuhkan dalam budidaya bunga tulip—sekaligus memungkinkan penanaman kontinu sepanjang tahun, termasuk selama musim dingin. Untuk mempermudah budidaya, mereka menanam umbi di dalam kotak kayu. Dengan demikian kondisi media tanam terjaga dengan baik. Harap maklum selama budidaya, penyakit—antara lain yang ditularkan dari tanah—mengancam keberhasilan penanaman.
Maka setiap November pekerja memasukkan kotak-kotak berisi media dan umbi tulip ke dalam bangunan yang suhunya diatur 2°C. Periode dingin dibutuhkan untuk memacu tulip berbunga. Pada akhir Desember pekerja memindahkan kotak-kotak berisi umbi tulip ke dalam bangunan bersuhu 20°C. Selama budidaya keluarga Pronk hanya menyewa tenaga kerja pada masa penanaman dan panen. Sekitar 18 hari kemudian bunga tulip mekar dan siap dijual melalui pasar lelang.
Permintaan pasar pun terus meningkat sehingga pada 1998 keluarga Pronk memperluas penanaman menjadi 10 ha. Pada saat yang sama pengelolaan perusahaan diserahkan kepada 3 anak lelaki keluarga Pronk yakni Richard, Marco, dan Edwin. Richard bertanggung jawab pada pemasaran, Marco operasional budidaya dalam greenhouse, dan Edwin memastikan kualitas umbi yang mempengaruhi kualitas produksi bunga secara keseluruhan.
Bisnis umbi dan bunga tulip keluarga Pronk pun terus melaju. Pada 2009 mereka membuka nurseri baru yang dikelola secara otomatis sehingga bisa berproduksi sepanjang lahan dengan bantuan sistem robotik yang dikembangkan oleh Gertjan van Staalduinen. Total luas penanaman pun terus berkembang. Pada 2014 nurseri yang dikelola keluarga Pronk mencapai 35 ha, Belanda dan 5 ha di Selandia Baru.
Spesialis
Cees dan Loes Pronk memilih membudidayakan tulip karena mereka hidup di area pertanian yang petaninya dominan menanam tanaman umbi-umbian seperti tulip, narcissus, hyacinth, dan crocus—selain sayur-sayuran. Apalagi tulip salah satu komoditas andalan utama Negeri Kincir Angin. Belanda satu-satunya negara yang paling berpengalaman dalam budidayakan tulip sehingga hampir tak ada kompetitor yang menyaingi bisnis bunga turban Belanda.
Saat ini terdapat sekitar 250 eksportir yang memasarkan tulip ke berbagai negara di Eropa. Mereka mendapat pasokan dari sekitar 250 nurseri yang menanam tulip untuk dipanen bunganya. Dan pengalaman selama puluhan tahun membudidayakan bunga asal Turki itu membuat keluarga Pronk menjadi ahli tulip.***
Tuesday, June 16, 2015
Trend Terbaru Bisnis Ikan Hias
Bisnis ikan hias masih menjanjikan keuntungan.
Ukuran kardinal tetra sungguh kecil, hanya 1,8 cm. Harga ikan hias Paracheirodon axelrodi itu juga kecil Rp500 per ekor. Namun, bagi Mujilan kardinal tetra bermakna besar dalam hidupnya. Sebab, ikan hias anggota famili Characidae itu menjadi sumber pendapatan Mujilan. Omzet peternak di Curug, Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat, itu Rp6,5-juta saban bulan hasil penjualan 13.000 kardinal tetra.
Mantan kepala sekolah di Jakarta Selatan yang pensiun dini itu mengatakan biaya produksi untuk menghasilkan ikan itu hanya Rp1-juta, sehingga laba bersihnya Rp5,5-juta. “Saya tertarik beternak ikan hias karena keuntungan dan prospeknya relatif bagus,” tutur ayah 3 anak itu. Ia mulai beternak ikan hias bermodal Rp2-juta. Semula ia membudidayakan red nose Hemigrammus rhodostomus. Baru pada 2003 Mujilan mengembangkan kardinal tetra.
Akuaskap
Mujilan (49 tahun) membeli 100 indukan kardinal tetra Rp500.000 dari pedagang ikan hias di dekat rumahnya. Hasil budidayanya untuk memenuhi permintaan pengepul di Serpong, Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Nun di Durensawit, Jakarta Timur, Budi Suroso beromzet Rp12-juta per bulan. Itu hasil perniagaan 40.000 blackghost. Ia menjual ikan itu ke peternak pembesaran di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Budi hanya menjual blackghost berumur 7 hari setelah menetas Rp300 per ekor. “Jika saya memproduksi 60.000 ekor per bulan pun pasti laku,” kata pria kelahiran Jakarta 1968 itu. Budi beralih menekuni dunia ikan hias sejak 2009. Saat itu perusahaan tempat ia bekerja bangkrut. Untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari pria 46 tahun itu menjadi peternak ikan hias.
Ia menuturkan permintaan “hantu hitam” itu cenderung stabil dari tahun ke tahun. Menurut perancang akuaskap di Bintaro, Tangerang Selatan, Buyung Noppy, kardinal dan neon tetra langganan mengisi taman akuarium. “Pertimbangan konsumen memilih tetra karena warna dan perilakunya yang bergerombol,” kata Buyung. Pemilihan ikan yang hidup berkoloni dan bercorak terang memang menjadi salah satu syarat perancang akuaskap. Semakin kontras warna ikan dengan latar akuaskap, semakin indah panoramanya.
Kebanyakan pehobi tertarik memiliki akuaskap untuk mengisi akuarium kosong bekas lou han yang membubung pada 2002. Setelah pamor lou han melorot, akuarium para pohobi kosong sehingga mereka mengisinya dengan ikan-ikan nan seronok itu. Sementara di Surabaya, Jawa Timur, pehobi memilih akuaskap untuk menggantikan akuarium laut yang perawatannya lebih sulit.
Peran ganda
Buyung menuturkan sejak 2004 masyarakat makin mengenal akuaskap. Musababnya pameran atau kontes akuaskap lazim dilaksanakan di tempat umum seperti pusat perbelanjaan. “Masyarakat jadi lebih mengenal akuaskap dan tertarik keindahan serta ingin memilikinya,” kata Buyung. Tentu saja permintaan komponen akuaskap seperti ikan ikut terdongkrak. “Dalam sebulan saya menjual lebih dari 1.000 ikan,” kata pemilik Buyung Aquascape Bintaro, itu.
Selain ikan kecil berwarna cerah, akuaskap pun menaikkan penjualan udang hias. Konsumen membeli udang karena sosoknya seronok, merah cerah. Selain itu satwa Crustaceae itu berfungsi membersihkan sisa pakan dan pemakan alga sehingga akuarium tampak selalu bersih. Jenis udang yang paling diminati antara lain red cherry, rili, dan red bee.
Di sentra ikan hias di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta Pusat, Munir, menangguk untung dari maraknya akuaskap. Munir yang sebelumnya hanya berjualan cupang menambah koleksi dagangannya dengan ikan pengisi akuaskap. “Saya menjual neon, kardinal, dan red nose sejak 2000 karena saat itu sedang tren,” kata pria kelahiran Jakarta itu. Munir melego 500 ikan aneka jenis seharga Rp2.000 per ekor sehingga beromzet Rp1-juta setiap bulan.
Permintaan tinggi
Munir menuturkan tidak hanya dirinya yang berjualan ikan pengisi akuaskap. “Lebih dari 10 orang yang menambah dagangannya dengan ikan kecil itu,” ujar pria berumur 37 tahun itu. Bukan hanya ikan hias kecil pengisi akuaskap yang penjualannya bagus. Perniagaan ikan hias lain seperti maskoki, cupang, koi, dan diskus pun masih berprospek cerah.
Kontes beragam ikan hias itu menjadi lokomotif untuk menggerakkan bisnis. Dua tahun terakhir, kontes-kontes itu terselenggara oleh berbagai komunitas penggemar ikan hias. Pada Desember 2014, misalnya, Kementerian Kelautan dan Perikan mengadakan acara Internationl Pets and Plants Aquatic Expo (IPPAE) yang berlangsung meriah.
Panitia menghelat kontes arwana, maskoki, diskus, dan cupang hingga melahirkan para jawara (baca: “Kampiun Akhir Tahun” halaman 60-62). Kontes tetap berpengaruh pada permintaan ikan hias. Itulah sebabnya permintaan ikan pun terus tumbuh setiap tahun. Peternak maskoki di Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, Umar Dani T, rutin menjual 4.000 maskoki mutiara setiap bulan.
Harga jual mutiara tikus berkisar Rp5.000—Rp50.000 tergantung ukuran per ekor. Harga pertama untuk mutiara tikus sebesar kelereng, sedangkan harga paling tinggi untuk ikan seukuran bola pingpong. Dari penjualan itu omzet Dani sekitar Rp20-juta—Rp200-juta sebulan. Sekitar 60% mutiara tikus diekspor ke Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat. Sisanya 40% masuk pasar lokal.
Menurut Dani pencinta ikan hias menyenangi mutiara tikus karena sosoknya lucu. Bentuk tubuh bulat seperti bola. Sementara sisiknya seperti mutiara kecil yang menempel di sekujur tubuh. Peternak ikan hias 29 tahun itu juga menangkarkan jenis lain seperti oranda, ryukin, dan ranchu.
Menurut Bima Saksono dari Perhimpunan Ikan Hias Indonesia (PIHI) tren ikan hias lokal belum pernah turun. “Jika saya memproduksi 15.000 kardinal per bulan pun terjual,” ujar Mujilan. Budi menuturkan peluang budidaya blackghost masih terbuka. Saat ini Budi baru bisa menghasilkan 40.000 blcakghost per bulan. “Jika saya menghasilkan 60.000 sebulan pun pasti laku,” kata Budi.
Peternak ikan hias di Tulungagung, Jawa Timur, Hendra Bastian, baru bisa memasok 80% permintaan domestik. Dalam sebulan Hendra menjual 120 boks berisi maskoki, koi, dan cupang. Terdapat 7—8 kantung berisi aneka jenis ikan di setiap boks. Dani pun baru bisa memasok 40% kebutuhan pasar lokal untuk mutiara tikus. “Peluang beternak mutiara tikus masih bagus,” kata pemilik Limas Farm itu.
Hambatan
Bisnis ikan hias tidak selalu mulus tanpa hambatan. Banyak aral menghadang peternak. Menurut Mujilan cuaca mempengaruhi produksi ternak ikan hias. Pada musim kemarau produksi kardinal turun hingga lebih dari 50% karena sulit mendapat air. Bukan berarti pada musim hujan tanpa hambatan. Kendala saat musim hujan adalah kesulitan mendapatkan pakan alami berupa kutu air. Selain itu karena suhu air juga terlalu dingin sehingga ikan banyak yang mati.
Mujilan mengalami penurunan produksi kardinal hingga 61% pada Desember 2014. Lazimnya ia menghasilkan 13.000 kardinal, tapi pada pengujung 2014 ia hanya sanggup menghasilkan 5.000 ikan. Budi menuturkan beternak blackghost pH air mesti diperhatikan. Jika lalai, ikan anggota famili Apteronotidae itu bisa mati. Untuk menetaskan telur Budi memerlukan pH tinggi yaitu lebih dari 7.
Sementara pembesaran memerlukan pH di bawah 7. Pasar ikan hias domestik masih relatif bagus. Peternak mesti mewaspadai gejolak pasar ekspor. Pemilik Taufan Fish Farm di Bogor, Jawa Barat Euis S Djohan, mengalami penurunan permintaan hingga 95% (baca: “Jalan Terjal Ikan Hias” hal 96—97). Sejatinya Indonesia berpeluang menguasai pasar ekspor ikan hias dunia. Sebagai gambaran dari 8.000 jenis ikan yang diperdagangkan di pasar internasional, 4.500 jenis di antaranya adalah ikan hias perairan Indonesia.
Dari jumlah itu beberapa jenis yang sudah diekspor di antaranya keluarga rainbow, catfish, siklid, dan poecilid. Selain itu, menurut data Kedutaan Besar Indonesia untuk Singapura tahun 2013, Indonesia menguasai 30% pasar impor ikan hias di Singapura. Negara lain yang juga menjadi tujuan ekspor ikan hias Indonesia adalah Hongkong, Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia. (Riefza Vebriansyah/Peliput: Rizky Fadhilah)
Omzet Melimpah Dari Bisnis Rental Tanaman
Pensiun dini kemudian menekuni bisnis tanaman hias.
Beragam tanaman hias di pot seperti anthurium, palem waregu, filodendron, dan aglaonema berjajar rapi. Total jenderal Bayu Abriansyah mengepotkan 20—30 jenis tanaman hias dalam ribuan pot plastik dan keramik. Pot berdiameter 20—40 cm itu tampak bersih, daun-daun tanaman hias mengilap. Bayu merawat tanaman hias itu agar tetap prima untuk disewakan di berbagai perkantoran di Cirebon dan Kuningan, Provinsi Jawa Barat.
Semula ia hanya merentalkan tanaman hias di sebuah kantor pada 2007. Menurut Bayu tanaman tertentu seperti aglaonema dan filodendron tahan hingga 5—7 hari dalam ruangan berpendingin, Lebih dari itu, kondisi tanaman menurun. Oleh karena itu ia akan mengganti tanaman sesuai kemampuan bertahan dalam ruangan. Tujuannya agar penampilan beragam tanaman hias itu tetap apik.
Sebulan Rp33-juta
Penggantian tanaman kunci utama berbisnis rental. Oleh karena itu ia memberi label tertentu pada setiap tanaman, pekan 1, pekan 2, pekan 3, atau pekan 4. Tanaman berlabel pekan 1 akan menghiasi ruangan di pekan pertama. Setelah itu Bayu akan mengeluarkannya selama 5 pekan untuk memulihkan kondisinya. Selama masa pemulihan, Bayu menggantikan dengan pot berlabel pekan 2.
Demikian seterusnya hingga tanaman pekan pertama kembali dipakai. Dengan penggantian cepat, kondisi tanaman terjaga sehingga bisa bertahan hingga setahun. Menyewakan tanaman hias di perkantoran Jakarta sempat marak pada 1990-an. Bayu juga semula berbisnis penyewaan tanaman di Jakarta. Ketika itu penggantian tanaman setiap 10 hari untuk mengurangi biaya transportasi. Harap mafhum Jakarta sangat macet sehingga menguras biaya. Dampaknya tanaman tidak dapat bertahan lama karena kondisinya cepat menurun, yakni daun tidak segar. Itulah sebabnya Bayu kemudian berpindah ke Cirebon.
Dalam hal pemasaran, ia memberikan fee kepada mitra yang memasarkan. Misalnya petugas keamanan di suatu perkantoran menyodorkan kepada atasannya untuk merental tanaman milik Bayu. Kiat itu—menghadirkan tanaman hias terbaik dan tip—mempermudah Bayu untuk menyewakan penghias ruangan.
Dalam 7 tahun, pelanggannya kian banyak mencapai 11 perkantoran. Saat ini omzet rental tanaman mencapai Rp33-juta per bulan dan menjadi salah satu kunci kelangsungan nurserinya. Sebab, pendapatan dari penyewaan tanaman hias relatif ajek, sedangkan omzet penjualan tanaman hias pot sangat fluktuatif. Selain berbisnis rental tanaman, ayah 2 anak itu juga menekuni bisnis tanaman hias pot. Di lahan 5.000 m2 ia mengembangkan beragam tanaman hias seperti aglaonema, anthurium, sansevieria, puring, adenium, dan tanaman hias lain.
Nasib baik Bayu rupanya terbuka di Cirebon. Faktor lingkungan di kebun sangat baik sehingga tanaman cepat tumbuh dan berkembang biak. “Air disini sangat jernih tanpa endapan,” ungkap pria 51 tahun itu. Untuk media, ia menggunakan campuran sekam bakar 35%, kaliandra 2,5—5%, pasir malang 15 %, zeolit 10%, dan 35% sekam mentah. Suhu daerah wisata itu juga sejuk 18—280C sehingga setiap pekan ramai pengunjung.
Pensiun dini
Bayu mengenal tanaman hias ketika menjadi pemimpin sebuah bank pemerintah pada pertengahan 2005. Ia diberi target untuk terus meningkatkan omzet. Ketika target tercapai, ia pun harus berusaha menjaga pelanggan tetap loyal menabung atau meminjam ke perusahaannya. Akibatnya perasaan stres seolah tak kunjung berakhir. Untuk mengurangi tekanan akibat pekerjaan, kelahiran Bogor 1963 itu memelihara tanaman aglaonema sehingga perhatiannya teralih dari pekerjaan.
Ia mulai mengumpulkan tanaman anggota keluarga Araceae itu saat menjadi kepala cabang di Cirebon, Jawa Barat. Meski tinggal di daerah, koleksinya tidak kalah lengkap dari kolektor di Jakarta dan sekitar. Hampir semua jenis aglaonema eksklusif ia pelihara. Saat siam aurora baru keluar, ia sudah berani membelinya dengan Rp2,5-juta. Ia juga membeli aglaonema tamara Rp12-juta untuk 2 ruas batang tanpa daun, francis red berdaun 14 lembar Rp8,5 juta. Francis red adalah silangan Gregori Hambali yang dirilis terakhir pada 2012.
Selain itu ia mengoleksi aglaonema langka, seperti paulina, saraswati, widya, dan alicia. Juga ada kiera aglaonema asal Thailand, legacy ungu, merah putih, yaitu sebelah berdaun putih dan sebelah berdaun merah. Ketika tidak ada lagi silangan baru yang muncul, ia pun membidik aglaonema berdaun mutasi. Di kalangan penggemar aglaonema, Bayu sohor sebagai kolektor aglaonema mutasi. Setiap menemukan daun mutasi, ia berusaha untuk mendapatkannya.
Saat dipindahtugaskan ke Jakarta pada 2006, koleksi aglaonema itu ditinggalkan di kebunnya di kawasan wisata Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Namun, hobinya pada tanaman tidak pupus. Ia bahkan menambah keragaman tanaman koleksi dengan menyasar tanaman hias lain, yaitu anthurium, philodendron, palem-paleman, bromelia, dan anggrek. Koleksi tanaman pun terus bertambah lantaran rajin memisahkan anakannya. Halaman rumahnya di Bogor kembali penuh tanaman.
Pada 2006 ia mendapat kabar dipindahkan ke bank cabang lain untuk ke-15 kalinya. Dengan pertimbangan keluarga, Bayu menolak tugas itu dan mengajukan surat pensiun dini untuk mengakhiri kariernya di dunia perbankan yang telah dijalani belasan tahun. Untuk mengisi waktu sekaligus memberi penghasilan, ia memanfaatkan hobinya memelihara tanaman hias sebagai sandaran hidup keluarga. Kebun tempatnya memelihara tanaman hias, disulap menjadi ruang pajang tanaman.
Peluang usaha itu kemudian ia lebarkan ke segmen penyewaan tanaman. Ia memasok ke-6 perkantoran di Jakarta. Setiap pekan, ia melakukan penggantian tanaman sekaligus mengambil tanaman lama. Sayangnya, kemacetan di Jakarta membuat usahanya harus ditutup. “Biaya transpor dari Bogor ke Jakarta dan sebaliknya lebih besar dari biaya sewa tanaman,” ungkap pria tinggi besar itu. Pada 2007 ia kembali ke Cirebon dan merintis usaha penyewaan tanaman hias yang bertahan hingga kini. (Syah Angkasa)
Subscribe to:
Posts (Atom)