Saturday, June 20, 2015
Penyakit Kotoran Putih Pada Udang Vanamei
Penyakit kotoran putih kini momok baru petambak udang. Kerugian mencapai 70%.
Tino Sadeli menemukan keanehan pada 4 dari 23 kolam udang vannamei miliknya pada November 2014. Peternak di Madura, Jawa Timur, itu melihat kotoran udang seperti benang berwarna putih di permukaan air kolam seluas total 1 hektar. Setelah berdiskusi dengan rekan sesama petambak, ia tahu udangnya terserang white feces desease (WFD) alias penyakit kotoran putih.
“Udang saya ketahuan terserang penyakit kotoran putih pada umur 60 hari,” kata Tino. Selang 25 hari—saat udang berumur 85 hari—Tino panen Litopenaeus vannamei. “Hasilnya hanya 70%. Artinya kematian udang mencapai 30%,” ujar petambak udang sejak 1986 itu. Rata-rata Tino menebar 125 benur per m2 atau sekitar 1,25-juta benur di 4 kolam. Ia hanya panen 875.000 udang.
Malas makan
Jika bobot udang 17 gram per ekor, maka Tino hanya panen 14,8 ton udang. Padahal, “Biasanya produksi udang mencapai 20—30 ton per ha,” kata pria kelahiran Surabaya 57 tahun silam itu. Dengan asumsi harga jual udang ukuran 50 (satu kg terdiri atas 50 ekor) Rp60.000 per kg, maka Tino kehilangan omzet minimal Rp312-juta. Peternak lain, Ming Liberty, rugi lebih besar.
Setahun terakhir penyakit kotoran putih menyerang 25 kolam, masing-masing seluas 4.000 m2, milik petambak udang di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, itu. Lima kolam terserang sangat parah. “Kerugian akibat serangan white feces desease di 5 kolam itu mencapai 70%,” ujar Liberty. Menurut Kepala Divisi Animal Health Service Technical Research, PT Central Proteina Prima, Dr Heny Budi Utari, kini penyakit kotoran putih banyak menyerang tambak udang di Indonesia.
“Gejala WFD ditemukan akhir 2013 dan meningkat pada Mei dan Juni 2014,” kata Heny. Berdasarkan survei sejak Januari—Juli 2014 ditemukan 307 tambak (sekitar 4%) terindikasi WFD dari 7.632 tambak di Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Lampung. “Serangan WFD terbesar di Nusa Tenggara Barat, diikuti Jawa Timur, dan Jawa Barat,” ujar alumnus Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya itu.
Sejatinya WFD bukan penyakit baru. “WFD sebelumnya ditemukan di tanahair pada 1994—1998 pada udang windu,” kata Heny. Kini penyakit kotoran putih itu banyak menyerang vannamei. Penyakit kotoran putih biasanya menyerang udang berumur 30—60 hari. Menurut pakar udang dari Universitas Kasetsart Thailand, Dr Chalor Limsuwan, gejala awal WFD adalah udang malas makan. Itu persis terjadi di kolam Tamyis berisi udang berumur 37 hari.
“Biasanya udang berumur 30 hari menghabiskan 4 kg pakan. Ketika terserang penyakit kotoran putih 1,5 kg pakan saja tidak habis,” kata petambak di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, itu. Jika petambak memberikan pakan secara normal, sedangkan nafsu makan udang berkurang maka banyak sisa pakan. Gejala berikutnya adalah banyak plankton mati di kolam. “Berkurangnya plankton dan tingginya bahan organik protein sisa pakan menyebabkan jumlah protozoa termasuk gregarin dan bakteri vibrio di air meningkat,” kata Heny. Jumlah oksigen terlarut di dasar petak pun rendah.
Mikrofili luruh
Menurunnya populasi plankton membuat udang makan di dasar kolam. “Pada saat itulah bakteri masuk atau ikut termakan udang,” kata Heny. Akibat infeksi bakteri, toksin dari bakteri mikrofili hepatopankreas udang rusak kemudian luruh ke usus kosong sehingga keluar menjadi kotoran berwarna putih bak benang. “Jadi, kotoran putih yang mengambang di permukaan kolam itu sebenarnya bukanlah kotoran udang, tapi mikrofili udang yang luruh,” ujar Heny.
Berdasarkan penelitian Chalor, gregarin yang ditemukan dalam kotoran putih termasuk dalam genus Nematopsis. Sementara, “Jenis vibrio yang ditemukan adalah Vibrio parahaemolyticus, Vibrio fluvialis, Vibrio alginolyticus, dan Vibrio mimicus,” kata peneliti dari Fakultas Perikanan, Universitas Kasetsart Thailand, itu kepada Trubus. Chalor menuturkan untuk mencegah serangan WFD lakukan budidaya secara benar.
“Contohnya, jika tambak tanah harus dikeringkan selama sebulan, ya lakukan selama sebulan,” katanya. Acap kali petambak udang abai akan hal itu lantaran mengejar jumlah produksi. Akibatnya, si bongkok putih terserang penyakit. Jika sudah terserang, Heny menyarankan agar petambak mengurangi pemberian pakan. “Potong 50% pemberian pakan harian sampai udang mau makan,” katanya.
Petambak yang melihat gejala serangan WFS, cukup memberikan pakan separuh dari kelaziman. Jika semula normalnya pemberian 4 kg pakan per hari, maka menjadi 2 kg. Selain itu berikan probiotik mengandung bakteri Bacillus spp (biosolution atau vanapro) selama 5—7 hari. Untuk mengontrol plankton dengan 3 cara: buang plankton mati pada siang dan sore hari, buang air dasar tidak lebih dari 5 cm, dan aplikasikan bakteri super NB 1 ppm hingga jumlah plankton stabil.
Super NB mengandung bakteri nitrifikasi yang berfungsi menumbuhkan plankton dengan cara mengubah amonium menjadi nitrit yang kemudian menjadi nitrat yang merupakan nutrisi untuk plankton. Tahap selanjutnya mengontrol dasar petak dengan cara melakukan sipon minimal sepekan sekali. “Buang air dasar secara berkala dan jaga oksigen dasar di atas 4 ppm,” kata Heny. Dengan cara itu kerugian akibat penyakit kotoran putih pun dapat dihindari. (Rosy Nur Apriyanti)
Labels:
TIPS SATWA
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment